Beranda | Artikel
Memahami Makna Islam
Minggu, 22 Januari 2017

Bismillah.

Mungkin sudah belasan atau puluhan tahun kita memeluk Islam. Akan tetapi satu hal yang patut disayangkan, bahwa banyak diantara kita yang sebenarnya kurang begitu paham tentang hakikat dan makna sesungguhnya dari Islam itu sendiri. Oleh sebab itu tidak jarang apabila ditanya tentang Islam maka yang terpikir dalam benak manusia adalah apa-apa yang sudah menjadi kebiasaan banyak orang Islam di masa sekarang ini.

Atau yang lebih parah lagi adalah mereka mengira Islam kurang lebih seperti yang dituduhkan sebagian kalangan, bahwa Islam adalah ajaran yang kaku dan keras sehingga membangkitkan berbagai bentuk teror dan kekejaman-kekejaman. Karena itulah muncul apa yang disebut dengan istilah ‘ketakutan kepada Islam’ atau islamophobia. Bahkan, kaum muslimin sendiri jadi ikut-ikutan takut terhadap agama yang dipeluknya. Wallahul musta’aan.

Ya, ada benarnya sebuah ungkapan yang mengatakan ‘Tak kenal maka tak sayang’. Demikianlah keadaan banyak orang sekarang ini. Mereka sebenarnya tidak mengenal Islam walaupun mereka mengaku beragama Islam. Oleh sebab itu mereka kurang sayang kepada agamanya. Mereka rela untuk mengorbankan bagian dari ajaran agama demi mencari simpati dan pujian manusia. Seolah mereka lupa, bahwa hakikat keislaman seorang tidaklah diukur dengan komentar dan dukungan manusia kepada dirinya. Sebab betapa banyak dakwah Islam yang ditentang oleh manusia, bahkan ada diantara nabi terdahulu yang pengikutnya hanya satu atau dua.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, tidaklah kita ragukan bahwa hanya Islam agama yang Allah ridhai di atas muka bumi ini. Seperti ditegaskan oleh firman Allah (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya dan kelak di akhirat dia akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran : 85)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidaklah seorang pun yang mendengar kenabianku apakah dia Yahudi atau Nasrani kemudian dia mati dalam keadaan tidak beriman kepada ajaran yang aku bawa melainkan dia pasti termasuk calon penghuni neraka.” (HR. Muslim)

Islam adalah kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya. Inilah pengertian Islam yang telah disampaikan oleh para ulama kepada kita. Dengan demikian tidak mungkin tegak Islam pada diri seorang hamba kecuali setelah dia mewujudkan tauhid. Oleh sebab itu setiap nabi mengajak kepada kalimat tauhid ‘laa ilaha illallah’. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus sebelum kamu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak ada ilah/sesembahan -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku.” (al-Anbiyaa’ : 25)

Dan jangan kita mengira bahwa kalimat ‘laa ilaha illallah’ itu cukup diucapkan dengan lisan saja. Lihatlah kaum munafikin yang ditegaskan oleh Allah bahwa mereka itu berada di dalam kerak neraka yang paling bawah; bukankah mereka juga mengucapkan dua kalimat syahadat? Meskipun demikian ucapannya itu sama sekali tidak bermanfaat. Mereka mengucapkan apa-apa yang tidak tertanam di dalam hati.

Kalimat tauhid adalah kalimat yang berisi penolakan ibadah kepada selain Allah dan mengukuhkan peribadatan kepada Allah semata. Tidak boleh disembah selain Allah apakah itu malaikat, nabi, wali, apalagi batu dan pohon. Allah berfirman (yang artinya), “Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36).

Tauhid inilah yang telah mulai luntur dalam hati dan alam pikiran banyak kaum muslimin. Begitu banyak fenomena kerusakan akidah dan penyimpangan dalam hal tauhid. Praktek perdukunan dan para pendusta berkedok agama pun bermunculan. Bahkan sebagian orang merasa bahwa dirinya sudah paham tauhid dengan sempurna. Mereka mengira bahwa dirinya pasti selamat dari syirik. Mereka menyangka bahwa syirik itu hanya menyembah berhala dan patung saja.

Mereka tidak khawatir dirinya terjangkit syirik dan kemunafikan. Padahal, Ibrahim ‘alaihis salam -bapaknya para nabi dan imamnya kaum bertauhid- berdoa kepada Allah -karena saking besarnya rasa takut beliau- agar dijauhkan dari penyembahan berhala dan patung-patung! Bahkan para sahabat -generasi terbaik umat ini, bahkan manusia-manusia terbaik setelah para nabi- merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan. Seorang ulama tabi’in Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah berkata, “Aku bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; mereka semuanya merasa khawatir dirinya terkena kemunafikan.”

Lantas siapakah kita apabila dibandingkan dengan para sahabat? Siapakah kita apabila dibandingkan dengan Ibrahim ‘alahis salam?! Sungguh benar firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.” (Fathir : 28). Barangsiapa semakin mengenal Allah niscaya lebih besar pula rasa takutnya kepada Allah. Sebaliknya, orang yang semakin jahil/tidak mengerti tentang Allah maka semakin meremehkan hak-hak Allah dan bergelimang dalam dosa dan kedurhakaan.

Tauhid inilah yang menjadi sebab utama keselamatan dan kebahagiaan manusia. Akan tetapi sungguh sayang banyak orang yang justru berpaling dan memusuhinya. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman/syirik, mereka itulah orang-orang yang diberikan keamanan, dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (al-An’aam : 82)

Tauhid inilah syarat diterimanya seluruh amalan. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)

Tauhid inilah keadilan terbesar di jagad raya ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas segenap hamba ialah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Luqman berpesan kepada anaknya (yang artinya), “Wahai ananda, janganlah engkau berbuat syirik kepada Allah, sesungguhnya syirik benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (Luqman : 13)

Segala bentuk ibadah -apakah itu sholat, doa, sembelihan, nadzar, istighotsah- adalah hak Allah. Tidak ada yang berhak mendapatkan ibadah selain Allah. Oleh sebab itu menujukan ibadah kepada selain Allah adalah syirik dan kezaliman. Inilah kezaliman terbesar yang mengharamkan pelakunya masuk ke dalam surga. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu penolong.” (al-Maa-idah : 72)

Dengan demikian adalah sebuah keanehan dan musibah apabila ada diantara kaum muslimin yang menujukan ibadahnya kepada orang-orang yang sudah mati, kepada wali, kepada jin atau kepada tandingan-tandingan selain Allah. Mereka berdoa kepadanya, menyembelih dan bernadzar untuknya, beristighotsah dan meminta rezeki kepadanya. Subhanallah, maha suci Allah dari apa-apa yang mereka lakukan. Ini bukan ajaran Islam, dan bahkan merusak agama Islam!


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/memahami-makna-islam/